Kabupaten Wajo dikenal sebagai daerah yang memiliki kekayaan sumberdaya perairan daratan yaitu Danau Tempe. Danau Tempe merupakan salah satu danau yang mempunyai potensi yang cukup besar di Propinsi Sulawesi Selatan. Secara administratif terletak dalam 3 wilayah administratif kabupaten yang berbeda, yaitu Kabupaten Wajo, Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Soppeng. Besarnya potensi tersebut menjadi modal utama dalam sistem ekonomi masyarakat setempat, terutama terhadap masyarakat nelayan tradisional yang menggantungkan hidup dari keberadaan danau.
Danau Tempe dan keindahan alamnya
Danau Tempe adalah landmark pariwisata Kabupaten Wajo dan Branding Equator Of Asia yang dinyatakan pada pertemuan tingkat tinggi 4 negara di Asia timur (Brunei, Philipina, Malaysia dan Indonesia) yang tergabung dalam Forum East Asia Growth Area (EAGA) pada tgl 26 Maret 1994 di Dava City Philipina, melalui penandatanganan Agred Minutes. Sebagai tujuan wisata, Danau Tempe menyajikan beragam keunikan alam yang dikelilingi oleh jajaran gunung dan bukit, keunikan budaya komunitas nelayan tradisional dengan rumah terapung dan teknik pemanfaatan danau Tempe secara tradisional, serta tempat persinggahan sekelompok unggas/pelikan yang melintas dari Australia-Afrika ketika negara tersebut dalam musim gugur. Selain sebagai destinasi tujuan pariwisata danau Tempe, juga memegang peran penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan sebagai laboratorium alam yang tidak pernah habis untuk dikaji secara mendalam.
Ciri khas dengan masyarakat yang bermukim terapung
Flora dan fauna yang semakin terdegradasi
Ditinjau dari segi sosial budaya, danau Tempe merupakan kebanggan masyarakat di sekitarnya. Bagi masyarakat nelayan tradisional, danau Tempe merupakan sumber mata pencaharian bagi nelayan setempat. Karakter khas yang dimiliki oleh masyarakat nelayan tradisional ditandai dengan teknik pemanfaatan danau Tempe secara tradisional yang hingga sekarang masih dipertahankan. Sesuai aturan adat setempat pemanfaatan Danau Tempe terbagi atas beberapa zona/kawasan yang berlaku setiap pergantian musim yaitu kawasan penangkapan ikan yaitu zona Cappeang-Palawang, Bungka dan Makkajalla, kawasan perlindungan yaitu zona Pacco Balanda dan zona keramat, kawasan bermukim terapung, dan kawasan vegetasi apung. Pembagian zona tersebut merupakan bagian dari pranata lokal masyarakat setempat. Selain itu masyarakat nelayan tradisional tersebut juga memahami secara personal tentang sistem adat dan larangan tertentu dalam memanfaatkan danau Tempe.
Masyarakat nelayan mengenal aturan bermukim terapung
Bermukim terapung menjadi keunikan yang tak ada duanya
Pemanfaatan Danau dengan tradisi Mabbungka dengan zona yang telah ditentukan secara adat
Kekayaan tradisi juga tercermin dari upacara adat maccera tappareng sebagai momentum kebersamaan masyarakat setempat. Kearifan lokal tersebut menjadi keunikan yang menyatu dengan keberadaan danau Tempe. Keunikan tersebut masih dapat ditemui di Desa Pallimae Kecamatan Sabbangparu. Karakter khas rumah terapung (kalampang) dan kekayaan tradisi menjadi daya tarik tersendiri Desa Pallimae sehingga menjadi desa tujuan wisata di Kabupaten Wajo baik lokal maupun mancanegara.
lepa-lepa menjadi moda transportasi utama
kawasan tertentu dilarang dimanfaatkan secara adat
Terkait dengan dinamika sumberdaya perairan daratan, Danau Tempe juga memiliki karakteristik yang dinamis berdasarkan volume air yang mengikuti pola musim. Pada musim kemarau, volume air danau 9.087 ha, sedangkan pada musim penghujan akan mencakup seluas 25.858 ha. Pada tahun 1948-1969, Danau Tempe tercatat sebagai danau yang mampu memproduksi ikan air tawar sebesar 55.000 ton pertahun. Pada saat itu dijuluki sebagai “mangkuk ikannya” Indonesia. Akan tetapi, produksi ikan air tawar dari Danau Tempe terus mengalami penurunan sampai 400 % dan bahkan dalam 15 tahun terakhir produksi ikan air tawarnya hanya mencapai kurang lebih 11.000 ton per tahun. Selain itu kondisi ekosistem danau Tempe saat ini telah mengalami degradasi lingkungan terutama tingkat pencemaran air dan kerusakan keanekaragaman hayati. Hal ini membuktikan bahwa saat ini Danau Tempe dalam kondisi yang memprihatinkan, yang berdampak langsung terhadap kepada masyarakat terkhusus masyarakat nelayan tradisional, yang menggantungkan hidup pada keberadaan danau, padahal jika dikelola dengan baik potensinya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Pencemaran dari limbah permukiman sekitar danau Tempe
Dalam beberapa tahun terakhir, kondisi perairan Danau Tempe telah mengalami perubahan antara lain sebagian dari wilayah danau telah menjadi daratan. Hasil penelitian JICA tahun 1993 menyatakan bahwa setiap tahunnya terjadi pendangkalan berkisar 15-20 cm dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Saat ini maksimum kedalaman pada puncak musim kemarau hanya sekitar 0,5 m. Terjadinya akumulasi sedimen yang dibawa oleh aliran air menjadikan danau semakin dangkal yang mengakibatkan daya tampung volume air menjadi berkurang. Pendangkalan yang terjadi menyebabkan wilayah perairan Danau Tempe semakin meluas pada musim hujan dan pada musim kemarau semakin dangkal. Hal ini memperparah banjir yang semakin meluas di sekitar danau yang berdampak pada kegiatan masyarakat. Selain terjadinya pendangkalan, perubahan Danau Tempe juga dipengaruhi oleh terjadinya pencemaran. Pencemaran berasal dari aktivitas masyarakat disekitarnya berupa buangan limbah cairan dan padat dari aktivitas rumah tangga, industri dan kegiatan lainnya serta juga dipengaruhi oleh kegiatan pertanian berupa penggunaan pupuk dan peptisida yang berlebihan. Akumulasi unsur-unsur pencemar yang mangalir masuk ke danau menyebabkan penurunan mutu air untuk berbagai kehidupan biota perairan dan pada akhirnya berdampak pada penurunan produksi perikanan air tawar.
ditengah degradasi lingkungan, masyarakat tetap melesatrikan teknik bermukim terapung
Sungai yang bermuara di Danau Tempe membawa angkutan sedimen
pada musim kemarau menjadi lahan potensial untuk aktivitas pertanian
Kondisi tersebut memberikan dampak negatif pada ekosistem Danau Tempe itu sendiri dan aktivitas masyarakat di sekitarnya, terutama banjir tahunan yang dampaknya semakin meluas. Banjir dari luapan danau dari tahun ke tahun semakin merugikan masyarakat di sekitarnya. Jika luapan banjir terjadi maka akan merusak alat tangkapan tradisional masyarakat nelayan tersebut seperti bungka atau cappeang yang berfungsi sebagai tempat menangkar ikan pada musim hujan. Selain itu juga menyebabkan bertambahnya wilayah daratan di sekitanya, mengundang masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan pertanian. Disatu sisi pendangkalan menimbulkan degradasi lingkungan tetapi disisi lain dinilai menguntungkan bagi masyarakat nelayan tradisional yang memanfaatkan potensi lahan yang terbentuk sebagai lahan pertanian dan perkebunan.
pada musim hujan, lokasi ini menjadi bagian yang tergenang
Dimanfaatkan sebagai lahan pertanian
Terkait kondisi fisik danau Tempe saat ini berdampak pada pemanfaatan ruang danau Tempe secara tradisional. Pranata lokal yang telah memberikan pengaturan zona pemanfaatan ternyata sudah mengalami pergeseran. Keinginan nelayan menangkap ikan lebih banyak pada akhirnya memanfaatkan zona-zona tertentu sebagai wilayah penangkapan yang sebelumnya tidak boleh dimanfaatakan sebagai wilayah penangkapan karena memiliki fungsi tersendiri dalam sistem keruangan danau Tempe oleh nelayan setempat seperti zona pacco Balanda dan zona keramat. Saat ini pemanfaatan danau Tempe lebih dominan dimanfaatkan sebagai zona bungka toddo’ dibanding dengan zona pemanfaatan lainnya.
Danau Tempe dari dulu hingga sekarang masih menjadi kebanggaan Masyarakat Kabupaten Wajo, namun saat terjadi banyak perubahan dari masa ke masa terutama permasalahan lingkungan yang tidak ada habisnya. Melihat fenomena tersebut, saatnya kita melesetarikan keberadaan danau Tempe, agar tidak menjadi cerita di masa mendatang ditengah perubuhan lingkungan yang semakin mengancam.
Danau Tempe, kau tetap jadi kebanggaan
masyarakat Kabupaten Wajo