Desa WetteE bak dalam kiamat kecil, ketika angin Puting Beliung dengan ganasnya menyapu sebagian besar rumah penduduk pada hari Jumat 24 Februari 2012 yang kerugiannya berkisar 5,9 M yang merusak sedikitnya 70 unit rumah dan 40 diantranya rata dengan tanah. Kala itu sore menjelang senja, masyarakat tengah bersiap-siap kembali ke peraduannya dimana sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani dan nelayan di pesisir danau Tempe. Namun Tuhan berkata lain, cuaca yang kelihatan gelap gulit disertai dengan gemuruh tiba-tiba menerjang permukiman penduduk. Tak lama berselang datanglah tamu yang tak pernah diundang kedatangannya, yah Angin Puting Beliung dalam bahasa setempat “Laso Anging” (maaf, terkesan fulgar jika diartikan dalam bahasa Indonesia) datang menghancurkan apa dilewatinya. Inilah takdir Tuhan bagi masyarakat Desa WetteE Kecamatan Panca Lautang Kabupaten Sidrap. Sebuah cobaan berat yang harus dipikul oleh mereka, sebagian besar harta benda harus hancur lebur tak tersisa. Inilah video ketika bencana itu datang.

Dampak Angin Puting Beliung di Sidrap

Dibalik bencana ganas “Laso Anging” tersebut, tersimpan sebuah “cerita” yang mendorong saya untuk mengangkat ke permukaan untuk dibahas. “Laso Anging” dalam bahasa Bugis dikonotasikan seperti alat kelamin pria untuk kata pertama (maaf yang kedua kalinya) karena bentuk pusaran angin yang memanjang dari arah bawah ke atas sedangkan anging berarti angin. Menurut cerita angin Puting Beliung sudah pernah terjadi sebelumnya di Desa WetteE. Dalam konteks masyarakat Bugis Anging Puting Beliung jarang berpindah tempat, dalam artian bahwa Angin Puting Beliung akan muncul dan menerjang wilayah yang sama.

Bentuknya dikonotasikan sebagai Bentuk Kelamin Pria

Sesuai dengan nama dan pemaknaannya “Laso Anging” memiliki cerita tersendiri dibalik kejadiannya, selain sifatnya yang muncul pada wilayah yang sama. Menurut cerita, ketika Angin Puting Beliung datang semua warga yang melihatnya tidak boleh mengatakan sesuatu yang berkaitan negatif dengan Angin Puting Beliung, seperti “magae na demuala manengngi?” artinya kenapa disisakan? Pemaknaan kalimat tersebut memiliki pencitraan negatif, atau seperti “tiwi ri kampong laingnge! Artinya pindahkan ke kampung lainnya. Ragam kalimat tersebut memiliki penafsiran yang negatif, sehingga sama sekali tidak boleh diucapkan baik orang yang ditimpa maupun yang hanya menyaksikan dari kejauhan karena bisa-bisa saja akan berbalik menimpa kita. Yah inilah sebuah realita dalam konteks masyarakat Bugis. Ini berkaitan dengan tradisi dan kearifan lokal yang selama ini dipegang oleh masyarakat setempat.

Selain berkaitan dengan perkataan dan tingkah laku, masyarakat Bugis juga memiliki keyakinan dalam menolak atau memberhentikan ganasnya Angin Puting Beliung, yaitu dengan “mallosulosu” (telanjang, maaf masih terkesan fulgar) bagi kalangan pria mengelilingi ruang-ruang dalam rumah. Hal ini diyakini dapat mengusir Angin Puting Beliung. Mengapa dilakukan hanya oleh pria? Dalam konteks pemaknaan awalnya dalam bahasa Bugis Angin Puting Beliung dibahasakan seperti alat kelamin pria, maksudnya anging yang berbentuk memanjang menyerupai alat kelamin pria. Jadi ketika para pria bertelanjang mengitari ruang-ruang dalam rumah mengibaratkan “Laso Anging” tersebut telah masuk dalam rumah yang tentunya tidak akan merusak. Jika hal ini telah dilakukan maka barulah para pria boleh turun meninggalkan rumahnya. Sehingga biasaya para wanita dan anak-anak akan terlebih dahulu meninggalkan rumah mencari tempat yang aman, sehingga tidak akan terlihat oleh siapa pun. Inilah salah satu tradisi yang masih diyakini hingga sekarang. Selain tradisi tersebut juga banyak ditemui masyarakat yang memanjatkan doa kepada Allah SWT untuk keselamatan mereka.

Saat anggota keluarga lainnya menyelamatkan diri, maka pada saat itulah seorang pria melakukan ritual ini. Di titik inilah peran kepala rumah tangga menjadi penting. Melalui mereka, pengorganisasian penyelamatan warga bisa diwujudkan. Inilah bentuk kearifan lokal untuk mitigasi bencana. Pengorganisasian penyelamatan warga berbasis pada otoritas dan perangkat tradisi. Ragam tradisi yang dilakukan dalam mengusir atau mengadapi bencana angin puting beliung merupakan sebuah kearifan lokal dari masyarakat setempat. Pengetahuan indigenous ini berkembang melalui tradisi lisan dari mulut ke mulut dan mendapatkan tambahan dari pengalaman baru, tetapi pengetahuan ini juga dapat hilang atau tereduksi tergerus oleh perkembangan zaman. Dengan demikian, pengetahuan indigenous dapat dilihat sebagai sebuah akumulasi pengalaman kolektif dari sebagian besar masyarakat Desa Wette dari generasi ke generasi yang dinamis dan yang selalu berubah terus-menerus mengikuti perkembangan jaman.

Kearifan lokal adalah cara dan praktik yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat, yang berasal dari pemahaman mendalam akan lingkungan setempat, yang terbentuk di tempat tersebut secara turun-temurun. Pengetahuan semacam ini mempunyai beberapa karakteristik penting yang membedakannya dari jenis- jenis pengetahuan yang lain. Kenapa? Karena Kearifan lokal berasal dari dalam masyarakat sendiri, disebarluaskan secara non-formal, dimiliki secara kolektif oleh masyarakat bersangkutan, dikembangkan selama beberapa generasi dan mudah diadaptasi, serta tertanam di dalam cara hidup masyarakat sebagai sarana untuk bertahan hidup.

Copyright © Leppa-Leppangeng Template Design by RzaaL 1306